Blog Sederhanaku - Sejarah Singkat Imam Syafi'i
Nama dan Nasab
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah 
(Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang 
tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di 
‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam 
keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya 
menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah 
seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk 
sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia 
termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu 
dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli 
hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam 
Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya 
tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah 
pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang 
menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, 
tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat 
tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan 
bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari 
kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi 
menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan 
memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan 
memiliki kemampuan melakukan istinbath.
 
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu 
pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa 
beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang 
menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan 
disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di 
perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. 
Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang 
disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa 
riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau 
dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur 
dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk 
negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah 
(dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang 
ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
 
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di 
dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang 
guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru 
ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam 
menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal 
Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat 
Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia 
diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah 
sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu 
mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak 
ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi 
seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, 
beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu 
di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam 
menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah 
kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan 
milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma 
yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau 
belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran 
pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab 
Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau 
berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab 
dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama 
suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta 
syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil 
menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui 
nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli 
bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, 
takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat 
dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan 
al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun 
tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya 
mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari 
ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman 
al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, 
Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, 
Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau 
mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping 
itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai 
menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. 
Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti 
mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk 
berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk 
mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin 
Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang 
Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya 
di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau 
menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang 
Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu 
dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz 
ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih 
banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian 
melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif 
bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari 
Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para 
ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar 
karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya 
itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang 
kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, 
Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari 
kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup 
pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan 
dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir 
selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan 
ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan 
orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani 
Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin 
secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang 
dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka 
berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara 
terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu 
sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat 
sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang 
yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ 
model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model 
mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman 
, dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. 
Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh 
perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan 
kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh 
orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia 
hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke 
Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang 
‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan 
Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan 
hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh 
pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i 
berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan 
ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, 
beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan 
kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan 
bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan 
untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, 
mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau 
berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada 
Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih 
ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai 
dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim 
haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar 
nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya 
sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka 
adalah Imam Ahmad bin Hanbal. 
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, 
Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk 
menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang 
nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis 
kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, 
beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka 
menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di 
Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan 
kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena 
sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan 
bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat 
sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa 
hanya 2 atau 3 halaqah saja. 
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian 
pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya 
sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan 
ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, 
beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. 
Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam 
pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang 
yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini 
dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam 
memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam 
menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, 
menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga 
memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada 
ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka 
membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. 
Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan 
para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. 
Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di 
antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i 
kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke 
sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, 
beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar 
ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, 
sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
 
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul 
Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu 
menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau 
selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam 
menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, 
“Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah 
kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya 
mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa 
al-Hadits. 
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan 
beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. 
Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari 
Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain 
keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi 
Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan 
menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali 
dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, 
“Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” 
Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam 
ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” 
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi 
fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu 
dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara 
kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang 
meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
 
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, 
beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama 
penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau 
wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan 
tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang 
luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat 
Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah 
diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah 
mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku 
mutiara-mutiara yang halus”
 
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad 
dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah 
menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 
200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, 
fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 
kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam 
al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
 
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber 
:
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.
 
0 Komentar untuk "SEJARAH SINGKAT IMAM SYAFI'I"